Minggu, 26 September 2010

KONDISI AKTUAL MASYARAKAT SAA INI

Modernisasi
Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Pengertian modernisasi berdasar pendapat para ahli adalah sebagai berikut :
a. Widjojo Nitisastro, modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis.
b. Soerjono Soekanto, modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. (dalam buku Sosiologi: suatu pengantar)
Dengan dasar pengertian di atas maka secara garis besar istilah modern mencakup pengertian sebagai berikut:
a. Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya tarat penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.
b. Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya dalam pergaulan hidup dalam masyarakat.
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa sebuah modernisasi memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut:
a. Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.
b. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
c. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
d. Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
e. Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
f. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.
Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terncana melalui berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Bangsa Indonesia seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencantumkan tujuan pembangunan nasionalnya. Kesejahteraan masyarakat adalah suatu keadaan yang selalu menjadi cita-cita seluruh bangsa di dunia ini. Berbagai teori tentang pembangunan telah banyak dikeluarkan oleh ahli-ahli sosial barat, salah satunya yang juga dianut oleh Bangsa Indonesia dalam program pembangunannya adalah teori modernisasi. Modernisasi merupakan tanggapan ilmuan sosial barat terhadap tantangan yang dihadapi oleh negara dunia kedua setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Modernisasi menjadi sebuah model pembangunan yang berkembang dengan pesat seiring keberhasilan negara dunia kedua. Negara dunia ketiga juga tidak luput oleh sentuhan modernisasi ala barat tersebut. berbagai program bantuan dari negara maju untuk negara dunia berkembang dengan mengatasnamakan sosial dan kemanusiaan semakin meningkat jumlahnya. Namun demikian kegagalan pembangunan ala modernisasi di negara dunia ketiga menjadi sebuah pertanyaan serius untuk dijawab. Beberapa ilmuan sosial dengan gencar menyerang modernisasi atas kegagalannya ini. Modernisasi dianggap tidak ubahnya sebagai bentuk kolonialisme gaya baru, bahkan Dube (1988) menyebutnya seolah musang berbulu domba.
Modernisasi; Konsep Awal Spencer, Optimisme Schoorl dan Pesimisme Dube
Pemikiran Herbert Spencer (1820-1903), sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian: ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.Menurut Spencer, suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antar organ-organnya. Kesempurnaan organisme dicirikan oleh kompleksitas, differensiasi dan integrasi. Perkembangan masyarakat pada dasarnya berarti pertambahan diferensiasi dan integrasi, pembagian kerja dan perubahan dari keadaan homogen menjadi heterogen. Spencer berusaha meyakinkan bahwa masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra industri secara intern justru tidak stabil yang disebabkan oleh pertentangan di antara mereka sendiri. Pada masyarakat industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi suatu stabilitas menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai dengan meningkatnya perlindungan atas hak individu, berkurangnya kekuasaan pemerintah, berakhirnya peperangan antar negara, terhapusnya batas-batas negara dan terwujudnya masyarakat global.Pemikiran Spencer dapat dikatakan sebagai dasar dalam teori modernisasi, walaupun Webster (1984) tidak memasukkan nama Spencer sebagai dasar pemikiran teori modernisasi. Teorinya tentang evolusi masyarakat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat industri yang harus dilalui melalui perubahan struktur dan fungsi serta kompleksitas organisasi senada dengan asumsi dasar konsep modernisasi yang disampaikan oleh Schoorl (1980) dan Dube (1988). Asumsi modernisasi yang disampaikan oleh Schoorl melihat modernisasi sebagai suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Dibidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks industri dengan pertumbuhan ekonomi sebagai akses utama. Berhubung dengan perkembangan ekonomi, sebagian penduduk tempat tinggalnya tergeser ke lingkungan kota-kota. Masyarakat modern telah tumbuh tipe kepribadian tertentu yang dominan. Tipe kepribadian seperti itu menyebabkan orang dapat hidup di dalam dan memelihara masyarakat modern.Sedangkan Dube berpendapat bahwa terdapat tiga asumsi dasar konsep modernisasi yaitu ketiadaan semangat pembangunan harus dilakukan melalui pemecahan masalah kemanusiaan dan pemenuhan standart kehidupan yang layak, modernisasi membutuhkan usaha keras dari individu dan kerjasama dalam kelompok, kemampuan kerjasama dalam kelompok sangat dibutuhkan untuk menjalankan organisasi modern yang sangat kompleks dan organisasi kompleks membutuhkan perubahan kepribadian (sikap mental) serta perubahan pada struktur sosial dan tata nilai. Kedua asumsi tersebut apabila disandingkan dengan pemikiran Spencer tentang proses evolusi sosial pada kelompok masyarakat, terdapat kesamaan. Tujuan akhir dari modernisasi menurut Schoorl dan Dube adalah terwujudnya masyarakat modern yang dicirikan oleh kompleksitas organisasi serta perubahan fungsi dan struktur masyarakat. Secara lebih jelas Schoorl menyajikan proses petumbuhan struktur sosial yang dimulai dari proses perbesaran skala melalui integrasi. Proses ini kemudian dilanjutkan dengan diferensiasi hingga pembentukan stratifikasi dan hirarki.Ciri manusia modern menurut Dube ditentukan oleh struktur, institusi, sikap dan perubahan nilai pada pribadi, sosial dan budaya. Masyarakat modern mampu menerima dan menghasilkan inovasi baru, membangun kekuatan bersama serta meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah. Oleh karenanya modernisasi sangat memerlukan hubungan yang selaras antara kepribadian dan sistem sosial budaya. Sifat terpenting dari modernisasi adalah rasionalitas. Kemampuan berpikir secara rasional sangat dituntut dalam proses modernisasi. Kemampuan berpikir secara rasional menjadi sangat penting dalam menjelaskan berbagai gejala sosial yang ada. Masyarakat modern tidak mengenal lagi penjelasan yang irasional seperti yang dikenal oleh masyarakat tradisional. Rasionalitas menjadi dasar dan karakter pada hubungan antar individu dan pandangan masyarakat terhadap masa depan yang mereka idam-idamkan. Hal yang sama disampaikan oleh Schoorl, walaupun tidak sebegitu mendetail seperti Dube. Namun demikian terdapat ciri penting yang diungkapkan Schoorl yaitu konsep masyarakat plural yang diidentikkan dengan masyarakat modern. Masyarakat plural merupakan masyarakat yang telah mengalami perubahan struktur dan stratifikasi sosial.Lerner dalam Dube (1988) menyatakan bahwa kepribadian modern dicirikan oleh :
1.    Empati : kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
2.    Mobilitas : kemampuan untuk melakukan “gerak sosial” atau dengan kata lain kemampuan “beradaptasi”. Pada masyarakat modern sangat memungkinkan terdapat perubahan status dan peran atau peran ganda. Sistem stratifikasi yang terbuka sangat memungkinkan individu untuk berpindah status.
3.    Partisipasi : Masyarakat modern sangat berbeda dengan masyarakat tradisional yang kurang memperhatikan partisipasi individunya. Pada masyarakat tradisional individu cenderung pasif pada keseluruhan proses sosial, sebaliknya pada masyarakat modern keaktifan individu sangat diperlukan sehingga dapat memunculkan gagasan baru dalam pengambilan keputusan.
Konsep yang disampaikan oleh Lerner tersebut semakin memperkokoh ciri masyarakat modern Schoorl, yaitu pluralitas dan demokrasi. Perkembangan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern baik yang diajukan oleh Schoorl maupun Dube tak ubahnya analogi pertumbuhan biologis mahkluk hidup, suatu analogi yang disampaikan oleh Spencer.
 Schoorl dan Dube yang keduanya sama-sama mengulas masalah modernisasi menunjukkan ada perbedaan pandangan. Schoorl cenderung optimis melihat modernisasi sebagai bentuk teori pembangunan bagi negara dunia ketiga, sebaliknya Dube mengkritik modernisasi dengan mengungkapkan kelemahan-kelemahannya. Schoorl bahkan menawarkan modernisasi di segala bidang sebagai sebuah kewajiban negara berkembang apabila ingin menjadi negara maju, tidak terkecuali modernisasi pedesaan.
Modernisasi yang lahir di Barat akan cenderung ke arah Westernisasi, memiliki tekanan yang kuat meskipun unsur-unsur tertentu dalam kebudayaan asli negara ketiga dapat selalu eksis, namun  setidaknya akan muncul ciri kebudayaan barat dalam kebudayaannya (Schoorl, 1988). Schoorl membela modernisasi karena dengan gamblang menyatakan modernisasi lebih baik dari sekedar westernisasi. Dube memberikan pernyataan yang tegas bahkan cenderung memojokkan modernisasi dengan mengungkapkan berbagai kelemahan modernisasi, antara lain keterlibatan negara berkembang diabaikan, konsep persamaan hak dan keadilan sosial tidak menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Lebih lanjut Dube menjelaskan kelemahan modernisasi antara lain :
1.    Modernisasi yang mendasarkan pada penggunaan ilumu pengetahuan dan teknologi pada organisasi modern tidak dapat diikuti oleh semua negara.
2.    Tidak adanya indikator sosial pada modernisasi.
3.    Keterlibatan negara berkembang diabaikan, konsep persamaan hak dan keadilan sosial antara negara maju dan berkembang tidak menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan.
4.    Modernisasi yang mendasarkan pada penggunaan iptek pada organisasi modern tidak dapat diikuti oleh semua negara.
5.    Tidak adanya indikator sosial pada modernisasi.
6.    Keberhasilan negara barat dalam melakukan modernisasi disebabkan oleh kekuasaan kolonial yang mereka miliki sehingga mampu mengeruk SDA dengan mudah dari negara berkembang dengan murah dan mudah.
Keberhasilan negara barat dalam melakukan modernisasi disebabkan oleh kekuasaan kolonial yang mereka miliki sehingga mampu mengeruk sumberdaya alam dari negara berkembang dengan murah dan mudah. Modernisasi tidak ubahnya seperti kolonialisme gaya baru dan engara maju diibaratkan sebagai musang berbulu domba oleh Dube. Dube selain mengkritik modernisasi juga memberikan berbagai masukan untuk memperbaiki modernisasi. Pendekatan-pendekatan yang digunakan lebih “memanusiakan manusia”.
 Kegagalan Modernisasi; Kajian Empirik Dove dan Sajogyo
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas dari pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah krusial Bangsa Indonesia. Penelitian tentang modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Sajogyo (1982) dan Dove (1988). Kedua hasil penelitian mengupas dampak modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang masuk bersama dengan modernisasi.
Dove dalam penelitiannya di membagi dampak modernisasi menjadi empat aspek yaitu ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan sosial. Aspek ideologi sebagai kegagalan modernisasi mengambil contoh di daerah Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Penelitian Dove menunjukkan bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku Wana telah mengakibatkan tergusurnya agama lokal yang telah mereka anut sejak lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi seolah menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang mampu membelenggu kebebasan asasi manusia termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Pengetahuan lokal masyarakat juga menjadi sebuah komoditas jajahan bagi modernisasi. Pengetahuan lokal yang sebelumnya dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat harus serta merta digantikan oleh pengetahuan baru yang dianggap lebih superior.
Sajogyo membahas proses modernisasi di Jawa yang menyebabkan perubahan budaya masyarakat. Masyarakat Jawa dengan tipe ekologi sawah selama ini dikenal dengan “budaya padi” menjadi “budaya tebu”. Perubahan budaya ini menyebabkan perubahan pola pembagian kerja pria dan wanita. Munsulnya konsep sewa lahan serta batas kepemilikan lahan minimal yang identik dengan kemiskinan menjadi berubah. Pola perkebunan tebu yang membutuhkan modal lebih besar dibandingkan padi menyebabkan petani menjadi tidak merdeka dalam mengusahakan lahannya. Pola hubungan antara petani dan pabrik gula cenderung lebih menggambarkan eksploitasi petani sehingga semakin memarjinalkan petani.
 Modernisasi, Masih Bisakah Dipertahankan ?
  Berbagai ulasan tentang modernisasi yang telah disajikan di depan membawa kita pada pertanyaan akhir yang layak untuk didiskusikan. Modernisasi masih bisakah dipertahankan sebagai perspektif pembangunan bangsa kita. Modernisasi tentu harus kita oleh lebih jauh lagi dan tidak menerimanya sebagai teori Tuhan yang berharga mati. Perbaikan-perbaikan konsep modernisasi yang diselaraskan dengan budaya serta pengetahuan lokal masyarakat akan menjadi sebuah konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan dan kemanusiaan.




Dampak Positif dan Dampak Negatif Globalisasi dan Modernisasi
Dampak Positif
a. Perubahan Tata Nilai dan Sikap adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.
b. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
c. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik
Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Dampak Negatif
Dampak negatif modernisasi dan globalisasi adalah sebagai berikut.
a. Pola Hidup Konsumtif
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
b. Sikap Individualistik
Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial.
c. Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah kehidupan bebas remaja meroko sudah menjadi gaya hidup bagi remaja,minuman alcohol dan lin-lain.
DATA dan PERSENTASE
Menurut lembaga survey Indonesia menduduki peringkat ke 5 sebagai jumlah Perokok terbesar di dunia, dan kini Indonesia juga mencetak rekor baru, yakni jumlah perokok remaja tertinggi di dunia.

"Sebanyak 13,2 persen dari total keseluruhan remaja di Indonesia adalah perokok aktif, seusai acara peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia kemarin. Di negara lain, jumlah perokok remaja tertinggi hanya mencapai 11 persen.

Jumlah perokok yang meninggal pun cukup signifikan. "Dari total 1,2 juta orang di kawasan Asia Tenggara yang menggunakan bahan baku tembakau, 25 % dari Indonesia di antaranya meninggal dunia.
Hampir 8,6 juta anak muda usia 12 sampai 17, lebih dari sepertiga dari kelompok usia ini, digunakan alkohol pada tahun lalu, lebih dari 650.000 (2,6 persen) melaporkan penggunaan alkohol berat, dan sembilan juta terlibat dalam setidaknya satu perilaku tunggakan dalam satu tahun terakhir .
d. Kesenjangan Sosial
Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial.

Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
Globalisasi adalah suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai Nasionalisme
•    Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.
•    Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)
Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar  luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.
•    Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1.    Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2.    Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3.    Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

•    Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1.    Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2.    Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
DATA dan PERSENTASE
Masyarakat yg lebih menyukai makanan luar seperti : Mc Donald yaitu ada 43 %, laki – laki 46% dan perempuan 41%, yang berumur 18-29 sekitar 36%,yang berumur 30-49 sekitar 45 %,yng berumur 50-64sekitar 43%,dan yang berumur 65 + sekitar 48%
3.    Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4.    Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5.    Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
•    Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
•    Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
1.    Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2.    Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3.    Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4.    Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
5.    Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.





Sekularisasi menurut Peter L. Berger

Bagi Peter L. Berger, sekularisasi adalah suatu “proses melalui mana sektor-sektor dalam masyarakat dan kebudayaan dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan” (Berger 1969:107). Berger bertanya, proses-proses dan kelompok-kelompok sosio-kultural mana yang telah berfungsi sebagai sarana-sarana atau mediator-mediator bagi terjadinya sekularisasi. Dia mencatat berbagai macamfaktor sebagai pendorong sekularisasi (Berger 1969:109-125), antara lain: peradaban manusia sebagai suatu keseluruhan yang menyebar keseluruh dunia; dinamika yang ditimbulkan oleh kapitalisme industrial; gaya hidup yang ditimbulkan oleh produksi industrial; pengaruh dari ilmu pengetahuan modern yang meresap ke berbagai sektor kehidupan sosial; infrastruktur praktikal di dalam kehidupan sosial.

Dari banyak faktor, faktor yang merupakan akar dan benih sekularisasi adalah tradisi keagamaan Barat, khususnya tradisi keagamaan biblis agama Yudaisme yang melalui kekristenan, khususnya tradisi Kristen Reformatoris Kalvinis, telah menjadi fondasi-fondasi peradaban modern. Berger menegaskan, dunia modern, dengan sekularisasinya, dapat ditafsirkan sebagai “suatu realisasi dari roh Kristen”; lagi, “Protestantisme telah memainkan suatu peran khas di dalam menegakkan dunia modern.”

Kontras dengan Gereja Roma Katolik yang kehidupan praktis dan ritual keagamaannya masih dipenuhi aura kekeramatan dunia transendental, kehidupan Gereja Protestan Kalvinis telah mengalami “disenchantment of the world” (Entzauberung der Welt), telah “kehilangan kekeramatan dunia ini”; orang-orang Prostestan tinggal di dalam suatu dunia yang numinositas-nya telah diambil darinya, dunia yang “bereft of numinosity”. Tidak ada malaikat-malaikat, tidak ada orang-orang kudus dan Bunda Maria sebagai perantara-perantara keselamatan, tidak ada roti dan anggur yang berubah menjadi daging dan darah Kristus, yang semuanya menghubungkan dunia imanen (dunia kodrati) dengan dunia transendental (dunia adikodrati) di mana Allah berada.

Bagi orang Protestan Kalvinis, Allah begitu tinggi, jauh di atas sana, transenden, suci tidak tertandingi oleh siapapun dan apapun yang ada di dalam dunia. Sebaliknya, manusia, dalam kaca mata orang Protestan Kalvinis, adalah makhluk fana dan hina yang telah jatuh ke dalam dosa, makhluk pendosa, dan karena itu terpisah dan terputus sama sekali dari Allah yang Maha Suci dan transenden. Hanya ada ada satu penghubung antara Allah dan manusia, yakni firman Allah, dalam arti firman yang menyatakan pemulihan hubungan hanya mungkin terjadi karena “rakhmat semata-mata,” sola gratia (seperti menjadi pengakuan iman Protestan Lutheran).

Ketika penghubung satu-satunya ini dipatahkan, karena sudah tidak “plausible” lagi, maka terpisahlah dunia imanen dari dunia transenden selama-lamanya; maka, dunia kodrati sungguh-sungguh telah “bereft of numinosum” dan menjadi realitas empiris duniawi semata-mata, “God is dead”. Ketika ini terjadi, maka realitas empiris ini menjadi terbuka terhadap penetrasi rasional dan sistematik, baik dalam pemikiran maupun dalam aktivitas, yang kita hubungkan dengan ilmu pengetahuan modern dan teknologi. Langit kini kosong tanpa malaikat, terbuka untuk diintervensi oleh para astronom, dan akhirnya, oleh para astronot. Maka, proses sekularisasi pun dimulailah.

Berger menandaskan, pandangan bahwa dunia ini sudah kehilangan kekeramatannya, karena mengalami desakralisasi dan demitologisasi, telah tersekularisasi, sudah dimulai dalam Perjanjian Lama, Kitab Suci agama Yahudi, agama yang dipenuhi oleh motif-motif transendentalisasi (Allah itu Esa, di atas sana, tidak terjangkau), historisasi (namun, Allah yang adikodrati itu, bekerja dalam sejarah Israel, menuntut respon umat, dan membuat ikatan perjanjian, berith, dengannya) dan rasionalisasi etika (anti-magis: umat menjadi diperkenan Allah bukan karena melakukan praktek-praktek magis, tetapi karena melaksanakan Taurat Allah).

Sekularisasi menurut Karel Dobbelere

Bagi Karel Dobbelaere, sekularisasi adalah suatu proses dalam masyarakat di dalam mana suatu sistem keagamaan yang transenden dan mencakup segalanya disusutkan menjadi suatu subsistem dari masyarakat yang ada bersama subsistem-subsistem lainnya; proses ini membuat klaim-klaim tentang pencakupan segalanya itu kehilangan relevansinya. Dengan demikian, lembaga agama termarjinalisasikan dan terprivatisasi (Dobbelaere 1989:29, 32).

Dobbelaere berteori (1989:27-44) bahwa sekularisasi terjadi karena di dalam masyarakat telah berlangsung perubahan-perubahan struktural, yang membuat sistem besar pengelolaan atau manajemen masyarakat disubdivisikan ke dalam subsistem-subsistem yang lebih kecil namun rasional, yang masing-masing memainkan fungsi sendiri-sendiri (ekonomi, polity, famili, pendidikan, sains). Subsistem-subsistem ini sangat terspesialisasi dan terdiferensiasi secara fungsional, dan keadaan ini telah menghasilkan organisasi-organisasi yang makin bertambah rasional. Masyarakat menjadi tersegmentasi ke dalam sejumlah domain kelembagaan, yang fungsional, rasional dan otonom. Sub-subdivisi, diferensiasi, segmentasi, spesialisasi dan individuasi fungsi-fungsi dalam masyarakat hanya bisa berlangsung kalau ada nilai-nilai civik inti yang melandasi dan menyemangati, yakni libertas dan equalitas. Tetapi karena tidak semua orang memiliki keahlian-keahlian yang diperlukan (meskipun ada nilai equalitas), maka di dalam subsistem-subsistem itu diperlukan orang-orang yang profesional. Siapa saja yang memiliki profesionalitas, boleh berfungsi dalam suatu subsistem yang cocok.

Dobbelaere menandaskan, “karena itu, kita dapat berbicara mengenai sekularisasi hanya di dalam masyarakat yang di dalamnya suatu proses diferensiasi telah digelar untuk memisahkan beberapa domain kelembagaan, misalnya, domain politik dari domain agama.” (p. 29); lagi, “semakin tinggi peringkat diferensiasi fungsional, maka sekularisasi akan semakin bertambah-tambah ― ini berarti agama akan pertama-tama kehilangan atau berkurang dampaknya terhadap penentuan aturan-aturan yang mengatur domain-domain kelembagaan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, aturan-aturan keagamaan tradisional, atau norma-norma yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan, akan semakin digantikan oleh norma-norma sekular atau betul-betul tersingkir, menjadi tidak dapat dipakai di dalam subsistem-subsistem pendidikan, keluarga, polity, ekonomi, dan sains, yang berbeda-beda.” (p. 38).

SEKULARISASI DAN MASA DEPAN AGAMA
A.Pengertian Sekularisasi
Sekularisasi diartikan sebagai pemisah antara urusan negara (politik) dan urusan agama, atau pemisah antara urusan duniawi dan ukhrawi.
Jadi sekularisasi adalah pembebas manusia dari agama dan metafisik artinya bahwa terlepasnya dunia dari pengertian-pengertian religius yang suci, dari pandangan dunia semu, atau dari semua mitos supra-natural.
Sekularisasi tidak hanya melingkupi aspek-aspek kehidupan sosial dan politik saja, tetapi juga telah merambah ke aspek kultur, karena proses tersebut menunjukkan lenyapnya penentuan simbol-simbol integrasi kultural.

B. Latar Belakang Timbulnya Sekularisasi
Suatu masyarakat adalah produk aktivitas manusia secara kolektif, dan merupakan realitas yang tidak statis, selalu berubah selaras dengan alam pikiran. Begitu pula aktivitas manusia secara individu merupakan fenomena yang dapat berpengaruh pada kolektivitasnya, bahkan secara realitas dapat memainkan peranan mengubah dunia. Artinya dalam hal ini manusia selalu dihadapkan pada konfrontasi terhadap realitas dan ia ingin selalu memperbiaki diri dan lingkungannya. Apalagi jika manusia telah dihadapkan pada kondisi yang membatasi ruang gerak aktivitas maupun kebebasan berpikirnya, maka akan muncul reaksi yang merupakan manifestasi dari akumulasi potensi untuk kemudian mendobrak apa yang telah mengekangnya.
Tak ubahnya dengan apa yang telah terjadi pada masyarakat Kristen Barat. Munculnya gerakan Protestantisme tidak lain merupakan reaksi terhadap kendali religius saat itu, yakni Dominasi Gereja Katolik yang telah mengekangnya. Perspektif semacam ini dimaksudkan untuk menyentuh sebuah potret pada masyarakat Kristen Barat, karena gambaran situasi religius itulah yang merupakan latar belakang yang telah meletakkan dasar bagi timbulnya sekularisasi.
Salah seorang filsuf Kristen, Jogues Maritain telah menguraikan tentang bagaimana dunia Kristen dan dunia Barat melewati krisis gawat sebagai akibat peristiwa masa kini, yang diiringi oleh kebangkitan nalar dan empirisme serta kemajuan ilmu dan teknologi. Krisis semacam itulah yang dikatakan sebagai sekularisasi.

C. Masa Depan Agama
Sebelum penjelasan masa depan agama ke hal yang lebih jauh kita jelaskan terlebih dahulu periodesasi sekuler. Periode sekulasisasi terbagi ke dalam 2 macam yaitu:
1. Periode pertama
Peride sekularisasi moderat, yaitu antara abad ke-17 dan ke-18. Pada periode sekularisme moderat, agama dianggap sebagai masalah individu yang tidak ada hubunganya dengan negara, tetapi meskipun demikian negara masih berkewajiban memelihara gereja, khususnya bidang upeti atau pajak. Dalam pengertian ini, dalam pemisahan antara negara dan gereja, tidak dirampas agama Masehi sebagai agama sekaligus dengan nilai-nilai yang dimilikinya, meskipun ada sebagian ajarannya ada yang diingkari, dan menuntut menundukkan ajaran-ajaran Masehi kepada akal, prinsip-prinsip alam, dan perkembanganya.
2. Periode kedua
Periode sekularisme ektrem berkembang abad 19 jika pada periode sekularisme moderat, agama masih diberi tempat dalam suatu negara, maka pada periode ekstrem, agama tidak hanya menjadi urusan pribadi, akan tetapi negara justru memusuhi agama. Begitu pula negara memusuhi orang-orang yang beragama. Peiode kedua ini, atau periode sekularisme ekstrem pada abad 19 dan 20 merupakan periode materialisme atau disebut sebagai revolusi sekuler.
Dari dua periode tersebut agama bukan lagi hal yang sangat penting dan sedikit diabaikan oleh mereka.

D. Hubungan Sekularisme Masa Depan Agama
Sekularisasi dalam hal ini mendudukkan agama sebagai aspek sentral dalam membicarakan dan memerikan penilaian terhadap konsep-konsep tentang sekularisasi, serta agama sebagai kacamata untuk melihat proses atau fenomena sekularisasi tersebut.

Sekularisasi
Dalam dua kotbahnya sebelum pemilihan Paus beberapa waktu lalu, Kardinal Ratzinger yang kemudian terpilih sebagai Paus Benediktus XVI mengemukakan bahwa sekularisasi di Eropa adalah masalah nyata Gereja, “kediktatoran relativisme” telah mengambil kontrol atas katolisisme di rumah sejarahnya, Eropa.Pernyataan atas bahaya sekularisasi ini diulang kembali dalam kunjungan pertamanya keluar negeri di hadapan uskup-uskup jerman, Agustus 2005. Paus mendesak para uskup untuk meningkatkan karya penginjilan mereka untuk melawan penyebaran sekularisasi terutama dengan menguatkan respons spiritual terhadap kaum muda. Mengapa sekularisasi menjadi perhatian utama Paus ini? Apakah relevansinya?
Melintasi Sejarah Gereja
Gereja melewati tiga abad pertamanya sebagai kelompok paria orang-orang beriman, yang mendapat tantangan dan kekerasan dari otoritas romawi. Pada awal abad ke empat. Kaisar Konstantin menjadi Kristen dan selanjutnya Kristen menjadi agama resmi kekaisaran Roma. Salah satu tindakan-tindakan awal dari Kaisar Konstantinus adalah menyelenggarakan Konsili Nicea tahun 325, dan dalam konsili ini para uskup menyatakan Arianisme (suatu doktrin yang menolak keilahian Kristus) sebagai bidaah dan mendefinisikan doktrin teologis dasar tentang trinitas yang membimbing Gereja Katolik sampai sekarang.
Gereja pada pada titik ini menciptakan struktur hirarkis yang kuat dan menegaskan berbagai perangkat dogma yang dirumuskan secara jelas. Dengan dasar ini Gereja dapat terus hidup dan berhasil sampai awal sistem dunia modern di abad 16. Kegiatan penginjilan mencapai sukses di seluruh Eropa dan hanya sebagian kecil wilayah di luar eropa. Selama masa ini. Gereja menunjukkan keberadaannya terutama dalam struktur politis dengan orang-orang Kristen di dalamnya.
Gereja mengalami skisma besar dengan gereja-gereja Ortodoks pada abad ke tujuh, dan menjadi salah satu isu utama dari isu-isu perpecahan terhadap otoritas Paus. Di lain kondisi, Gereja dapat mengatasi perpecahan dengan mengembangkan struktur yang elastis dari berbagai institusi yang mempunyai penekanan berbeda (khususnya struktur ordo/kongregasi). Sebagai institusi politik, Gereja bergandengan tangan dan bertarung dengan beragam penguasa; dan khususnya dengan Kaisar Roma, pada derajat tertentu Gereja dan negara saling mengontrol secara politis.
Dapat dikatakan bahwa model hubungan seperti itu bekerja baik sampai kelahiran dunia modern, ketika Negara-negara di Eropa mulai membangun dirinya sebagai struktur otonom yang kuat, dalam suatu dunia ekonomi kapitalis sampai sekarang. Kemunculan Negara-negara yang kuat berkait dengan kemunculan gereja-gereja Protestan dalam berbagai bentuknya, namun semuanya menolak otoritas hirarkis dari Paus, Uskup Roma. Perseteruan agama antara Gereja Katolik dan beragam gereja-gereja Protestan berlangsung selama dua abad.
Solusi pertama dihasilkan dalam Perjanjian damai Augsburg 1555, cuius region eius religio (agama penguasa adalah agama negara). Tetapi hal itu tampaknya tidak cukup untuk menyelesaikan masalah di negara Eropa terbesar, Perancis, dimana perang sipil berakhir dengan Edict of Nantes, 1598 yang melarang gereja Protestan. Kemudian di tahun 1685, Edict of Nantes dibatalkan dan menegaskan konsep toleransi agama bagi kelompok Kristen minoritas. Dengan pembatalan ini, paham toleransi menjadi paham yang harus diterima dalam Gereja (Katolik). Toleransi agama sebagai konsep menjadi bagian integral dari perkembangan yang lebih kemudian terjadi di Eropa sebagai masa pencerahan (Enlightenment).
Masa ini ini melahirkan suatu proses yang terjadi dengan cepat yaitu proses sekularisasi, yang dimengerti sebagai pengalihan seluruh isu-isu moral dari dominasi otoritas agama dan munculnya paham mengenai hak individual dalam berbagai arena moral, khususnya yang berkait dengan seksualitas dan konsekuensi sosialnya. Pada abad ke 19, Gereja menyatakan bahwa sekularisasi nilai-nilai moral sebagai turunan liberalisme yang juga diharamkan dan dilawan Gereja. Harus dikatakan bahwa perlawanan ini dalam arti tertentu gagal. Sekitar akhir abad lalu, Negara-negara Eropa melegitimasi atau sekurangnya memberi toleransi pada praktek-praktek yang ditentang Gereja – perceraian, penggunaan alat kontrasepsi, aborsi dan homoseksualitas.
Lebih jauh lagi, Gereja Katolik (seperti juga gereja-gereja lain) merasakan penurunan pada jumlah panggilan imam dan kehadiran kaum awam dalam perayaan-perayaan agama. Di pihak lain, gereja Katolik sebagai suatu institusi yang mewakili Eropa mulai meredup. Bersamaan dengan pertumbuhan dunia ekonomi yang didominasi Eropa, proses penginjilan ke luar Eropa, perkembangan ini menjadi semakin nyata. Di awal abad lalu jumlah anggota Gereja Katolik dibanding warga dunia adalah 1:1900 (dengan sebagian besar anggotanya adalah orang Eropa) menjadi 1:2000 karena (dan jumlah orang Eropa Katoliknya adalah minoritas).
Konsili Vatikan II yang diselenggarakan atas undangan Paus Johanes XXIII 1962, mencoba menanggapi perubahaan-perubahan lingkungan sosial tempat Gereja hidup. Johannes XXIII menyatakan perlunya aggiornamento, suatu pembaharuan Gereja, terutama dalam perubahan liturgi dan peran sinode uskup-uskup untuk membantu penyelanggaraan Gereja, dan terbukanya ruang untuk dialog dan gerakan ekumene. Konsili Vatikan II memberi pengaruh signifikan bagi berbagai perkembangan khususnya di Amerika Latin dengan munculnya Teologi Pembebasan dimana para uskup dan teolog terlibat secara mendalam pada gerakan politik radikal guna menegakkan keadilan di dunia ini dan karenanya beroposisi terhadap otoritas negara.
Paus Yohanes Paulus II tampak berupaya mengembalikan kekayaan doktrin-doktrin tradisional Gereja, menentang teologi pembebasan, menekankan kembali sentralitas dari otoritas Paus dan menegaskan kembali ajaran tradisional Gereja tentang seksualitasi – selibat imam dan perempuan yang tidak dapat ditahbiskan. Paus Yohanes Paulus II menjadi pemimpin dunia dalam hal sikap perlawanan agama terhadap kejayaan sekularisasi dan individualisasi dari praktek-praktek moral.
Duduk Persoalan: Sekularisasi dan Neo-sekularisasi
Pertama kita perlu sedikit membedakan antara sekularisme dan sekularisasi. Pada tataran praktis, sekularisme menunjuk pada kebijakan-kebijakan politik sekular seperti pemisahan antara Gereja dan negara. Di belakang praktek itu ada pandangan filosofis yang menggagas bahwa masyarakat akan lebih tertata baik bila peran agama semakin berkurang. Sementara itu istilah sekularisasi mempunyai makna yang beragam dan menyangkut beberapa aspek yang berbeda. Sekurang-kurangnya ada 6 wilayah, dimana sekularisasi mempunyai makna yang berlainan.
1.    Ketika berbicara tentang struktur sosial makro, sekularisasi menunjuk pada diferensiasi suatu proses dimana berbagai aspek masyarakat, ekonomi, politik, hukum dan moral semakin terbedakan (dalam relasi) satu terhadap yang lain. Yang terjadi adalah suatu devolusi (pengalihan kekuasaan atau otoritas) dari institusi tunggal yang tidak terdiferensiasi kepada institusi-institusi yang terdiferensiasi. Setiap institusi yang secara baru terdiferensiasi, kemudian juga secara internal terdiferensiasi agar dapat beradaptasi dan mencapai berbagai tujuan yang berbeda-beda.
2.    Bila berbicara tengan institusi individual, sekularisasi menunjuk pada perubahan bentuk institusi agama menjadi institusi sekular. Contoh di Belanda adalah Universitas Katolik Nijmegen. Meskipun tetap menggunakan nama Katolik, universitas ini sekarang telah beralih menjadi universitas negeri.
3.    Bila membicarakan aktivitas, sekularisasi menunjuk pada pengalihan aktivitas dari institusi agama ke institusi sekular. Di barat, banyak aktivitas yang semula dikerjakan oleh yayasan milik gereja, sekarang ini dilakukan oleh yayasan-yayasan yang tidak berbasis gereja, seperti rumah jompo, yatim piatu, pelayanan kesehatan untuk gelandangan dan sebagainya.
4.    Bila berbicara tentang mentalitas, sekularisasi menunjuk pada transisi dari ultimate concerns ke proximate concerns, dari cita-cita mencapai kesempurnaan ilahi yang mutlak yang diperoleh setelah kematian kepada keinginan untuk mendekati kesempurnaan yang applicable, yaitu konsekwensi-konsekwensi segera yang dapat diperoleh dalam aktivitas-aktivitas di dunia ini. Hal ini biasa berarti kemerosotan hidup keagamaan pribadi yang bergerak kea rah hidup sekular.
5.    Bila berbicara tentang populasi sekularisasi menunjuk pada pola besar masyarakat yang merosot dalam hal religiusitas. Berbeda dengan level individual (4) maupun struktur makro (1), pola masyarakat ini lebih menunjuk pada adat-istiadat, pranata-pranata dan kebiasaan-kebiasaan.
6.    Bila berbicara dalam konteks agama, sekularisasi bersifat ambigu atau bermakna ganda. Apa yang dianggap sebagai proses sekularisasi dalam suatu agama tertentu tidak selalu dianggap sebagai sekularisasi oleh agama yang berbeda. Contohnya, apa yang sering dilawan oleh Gereja Katolik sebagai akibat dari sekularisasi yaitu paham moral tentang perceraian, aborsi, alat kontrasepsi dan homoseksualitas, tidak selalu diamini oleh agama atau gereja lain.
Dalam perkembangan lebih lanjut, di kalangan para ahli sosiologi yang mendalami masalah sekularisasi mulai muncul perdebatan (yang didasarkan pada penelitian mereka) tentang benarkah tingkat religiositas masyarakat cenderung turun sejalan dengan sekularisasi. Malahan, beberapa ahli (seperti Mark Chaves, N.J. Demerath) mengusung istilah baru yang mencoba mengambarkan apa yang terjadi, yaitu istilah neo-sekularisasi yang memperluas definisi dari mundurnya keagamaan individu dengan menyatakan bahwa sekularisasi juga berarti merosotnya otoritas agama-agama.
Dengan kata lain, lebih daripada menggunakan ketidakberagamaan seseorang sebagai satu-satunya ukuran, neo-sekularisasi menunjuk pada individu-individu yang mencari di luar agamanya, berbagai posisi otoritatif untuk topik-topik yang berbeda. Kaum neo-sekularis akan berargumen bahwa agama tidak lagi menjadi otoritas tunggal atas isu-isu moral dan karenanya, meski tetap memeluk agama tertentu, peran otoritas agama merosot dan sekularisasi mengambil perannya. Jadi mungkin saja seorang tetap menyatakan beragama tertentu namun dalam berbagai keputusan moral dia tidak merujuk pada (satu) otoritas agama. Munculnya berbagai aliran dan sekte dalam semua agama besar dapat juga dipandang sebagai akibat dari neo-sekularisasi.
Dengan melihat kembali sejarah Gereja khususnya di Eropa, menjadi jelas bahwa sekularisasi pertama-tama merupakan masalah Gereja di Eropa. Dan sama seperti setiap gejala manusiawi, sekularisasi berwatak ganda: baik dan buruk, positif dan negatif.
1. Sekularisasi memberi pelajaran berharga kepada Gereja, yakni agama yang mengusung misinya dengan mengunakan otoritas politik apalagi bersifat monolitik selalu berpeluang menjadi korup dan pada akhirnya mengalami kegagalan. Dalam sebuah dunia modern yang semakin terdiferensiasi, klaim dari otoritas manusiawi sekalipun diinspirasikan oleh ajaran yang amat luhur tampaknya akan selalu berhasil dipatahkan sekurang-kurangnya dikritik oleh otoritas lain. Pengalaman eropa ini memperkuat tesis bahwa penciptaan masyarakat negara berdasarkan satu model penafsiran agama mustahil terlaksana. Pelajaran penting untuk para pemimpi yang berniat membangun negara dengan basis agama.
2. Neo-sekularisasi menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih radikal yaitu bahkan ketika Gereja membatasi otoritasnya untuk perkara iman dan moral, otoritas ini pun tidak lepas dari kritik dan penolakan. Religiusitas masyarakat dan individu kendati dilayani oleh struktur agama dan hukum-hukum moral, tetaplah struktur agama dan hukum-hukum itu bersifat pilihan. Orang-orang di jaman modern ini lebih suka melihat, membandingkan berbagai pilihan yang tersedia dan menentukan secara pribadi apa yang dianggapnya sebagai benar. Maka tidak jarang orang modern berpikir pragmatis, yakni apakah yang benar dan menguntungkan dalam situasi sekarang.
3. Dalam bidang kenegaraan dan pemerintahan tampak bahwa sekularisasi didukung (diferensiasi institusi-institusi terjadi) tetapi sekularisme (pemisahan negara dan agama) mendapat tantangan serius, berbagai pengaruh agama secara sistematis dicoba dimasukkan dalam bentuk undang-undang, kebijakan-kebijakan ataupun praktek.
4. Dalam ajaran moral yang bersumber dari keyakinan agama, pengertian sekularisasi di dalam masyarakat tidaklah tunggal. Setiap agama, bahkan di kalangan internal agama, mempunyai definisi tentang sekularisasi yang berbeda.
5. Dalam Gereja Katolik, otoritas agama masih sangat dominan, tetapi perkembangan dan pertumbuhan jemaat Kristen di luar Gereja Katolik menunjukkan bahwa model kepemimpinan hirarkis diminati lebih sedikit dibanding model jemaat Kristen lain yang menekankan otonomi dan kreativitas jemaat. Sekurang-kurangnya ketergantungan pada otoritas hirarkis tidak mendorong militansi jemaat baik internal maupun eksternal.
6. Budaya kapitalis yang mencuci otak masyarakat baik lewat iklan, gaya hidup dan godaan untuk bersikap konsumtif, mendorong orang untuk mencari “keselamatan sesaaat” sekaligus pada titik tertentu menciptakan kerinduan akan hidup spiritual yang ditawarkan agama-agama. Maka “keberhasilan” agama tidak pertama-tama ditentukan oleh otoritas agama tetapi dalam kesaksian hidup dan kemampuan menjawab pertanyaan konkret masyarakat modern.
7. Di Indonesia, kemiskinan yang muncul akibat ketimpangan mengakses sumber-sumber ekonomi dapat mendorong orang “lari” kepada (otoritas-otoritas) agama. Bila tidak dibantu dengan tepat, otoritas agama dapat tergoda dan mengira bahwa gejala itu menunjukkan peningkatan religiositas. Sebuah delusi yang berbahaya. Agama ditantang untuk membebaskan si”miskin” dari sikap melarikan diri (eskapisme, agama menjadi candu) ke arah pertemuan pengalaman religiositas yang lebih membebaskan.

SEKULARISASI DAN MASA DEPAN AGAMA

A.Pengertian Sekularisasi
Sekularisasi diartikan sebagai pemisah antara urusan negara (politik) dan urusan agama, atau pemisah antara urusan duniawi dan ukhrawi.
Jadi sekularisasi adalah pembebas manusia dari agama dan metafisik artinya bahwa terlepasnya dunia dari pengertian-pengertian religius yang suci, dari pandangan dunia semu, atau dari semua mitos supra-natural.
Sekularisasi tidak hanya melingkupi aspek-aspek kehidupan sosial dan politik saja, tetapi juga telah merambah ke aspek kultur, karena proses tersebut menunjukkan lenyapnya penentuan simbol-simbol integrasi kultural.

B. Latar Belakang Timbulnya Sekularisasi
Suatu masyarakat adalah produk aktivitas manusia secara kolektif, dan merupakan realitas yang tidak statis, selalu berubah selaras dengan alam pikiran. Begitu pula aktivitas manusia secara individu merupakan fenomena yang dapat berpengaruh pada kolektivitasnya, bahkan secara realitas dapat memainkan peranan mengubah dunia. Artinya dalam hal ini manusia selalu dihadapkan pada konfrontasi terhadap realitas dan ia ingin selalu memperbiaki diri dan lingkungannya. Apalagi jika manusia telah dihadapkan pada kondisi yang membatasi ruang gerak aktivitas maupun kebebasan berpikirnya, maka akan muncul reaksi yang merupakan manifestasi dari akumulasi potensi untuk kemudian mendobrak apa yang telah mengekangnya.
Tak ubahnya dengan apa yang telah terjadi pada masyarakat Kristen Barat. Munculnya gerakan Protestantisme tidak lain merupakan reaksi terhadap kendali religius saat itu, yakni Dominasi Gereja Katolik yang telah mengekangnya. Perspektif semacam ini dimaksudkan untuk menyentuh sebuah potret pada masyarakat Kristen Barat, karena gambaran situasi religius itulah yang merupakan latar belakang yang telah meletakkan dasar bagi timbulnya sekularisasi.
Salah seorang filsuf Kristen, Jogues Maritain telah menguraikan tentang bagaimana dunia Kristen dan dunia Barat melewati krisis gawat sebagai akibat peristiwa masa kini, yang diiringi oleh kebangkitan nalar dan empirisme serta kemajuan ilmu dan teknologi. Krisis semacam itulah yang dikatakan sebagai sekularisasi.

C. Masa Depan Agama
Sebelum penjelasan masa depan agama ke hal yang lebih jauh kita jelaskan terlebih dahulu periodesasi sekuler. Periode sekulasisasi terbagi ke dalam 2 macam yaitu:
1. Periode pertama
Peride sekularisasi moderat, yaitu antara abad ke-17 dan ke-18. Pada periode sekularisme moderat, agama dianggap sebagai masalah individu yang tidak ada hubunganya dengan negara, tetapi meskipun demikian negara masih berkewajiban memelihara gereja, khususnya bidang upeti atau pajak. Dalam pengertian ini, dalam pemisahan antara negara dan gereja, tidak dirampas agama Masehi sebagai agama sekaligus dengan nilai-nilai yang dimilikinya, meskipun ada sebagian ajarannya ada yang diingkari, dan menuntut menundukkan ajaran-ajaran Masehi kepada akal, prinsip-prinsip alam, dan perkembanganya.
2. Periode kedua
Periode sekularisme ektrem berkembang abad 19 jika pada periode sekularisme moderat, agama masih diberi tempat dalam suatu negara, maka pada periode ekstrem, agama tidak hanya menjadi urusan pribadi, akan tetapi negara justru memusuhi agama. Begitu pula negara memusuhi orang-orang yang beragama. Peiode kedua ini, atau periode sekularisme ekstrem pada abad 19 dan 20 merupakan periode materialisme atau disebut sebagai revolusi sekuler.
Dari dua periode tersebut agama bukan lagi hal yang sangat penting dan sedikit diabaikan oleh mereka.

D. Hubungan Sekularisme Masa Depan Agama
Sekularisasi dalam hal ini mendudukkan agama sebagai aspek sentral dalam membicarakan dan memerikan penilaian terhadap konsep-konsep tentang sekularisasi, serta agama sebagai kacamata untuk melihat proses atau fenomena sekularisasi tersebut.
DAMPAK NEGATIF SEKULARISASI
Takhayul telah mempengaruhi kurikulum sekolah. Hal ini telah menciptakan gelap dan stagnasi lingkungan untuk anak-anak. murid sekolah diajarkan bahwa jika mereka tidak mematuhi aturan, mereka akan dibakar di neraka (Jahannam).
DATA dan PERSENTSE
Persentase anak yang percaya takhayul ada 56%



KESIMPULAN SEKULARISASI
Bahwa sekuler bagi masa depan agama sebagai motivasi bagi asas dasar pemikiran alasannya bahwa:
1. Seperangkat alasan-alasan yang menjelaskan tingkah laku manusia.
2. Seseorang akan melakukan sesuatu apabila ada persamaan dengan yang lain, dan alasan-alasan yang lain telah dibatasi.